Seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) berinisial M-H (27), yang bertugas di Puskesmas Perdana, Kecamatan Sukaresmi, Kabupaten Pandeglang, dilaporkan oleh mantan pacarnya, L-A (21), ke pihak berwajib. Laporan tersebut diajukan pada Jumat, 20 September 2024.
MH diduga memaksa L-A untuk melakukan aborsi atas hasil hubungan mereka yang menyerupai hubungan suami istri.
“Korban dipaksa melakukan aborsi dengan diberikan obat keras oleh pelaku, dan juga mengalami kekerasan fisik,” ungkap Rama yang merupakan Kuasa hukum dari LA,pada sabtu 21 September 2024.
Menurut Rama , L-A dan M-H telah menjalin hubungan selama satu tahun. Namun, pada April dan Mei 2024, L-A mengaku mengalami kekerasan dari M-H. Kemudian, pada Juli 2024, L-A yang merupakan warga Kecamatan Saketi, Kabupaten Pandeglang, mengetahui dirinya hamil setelah mengalami gejala mual dan muntah.
“Saat korban mengalami gejala mual dan muntah, dia memeriksa kehamilannya menggunakan testpack. Setelah diketahui positif, korban memberitahu MH. Namun, respons yang diberikan tidak baik, sehingga kami menduga MH tidak ingin bertanggung jawab atas kehamilan tersebut,” tambah Rama.
Tidak sampai disitu, M-H merayu L-A untuk datang ke klinik pribadinya di Kecamatan Panimbang dengan alasan memberikan infus karena kondisi L-A yang sedang sakit. Namun, di klinik tersebut, M-H diduga memberikan obat aborsi.
“Korban memang diinfus, tapi M-H ini tidak memiliki kewenangan untuk memberikan infus karena dia adalah dokter spesialis mulut dan gigi,” kata Rama.
Di klinik itu, L-A dipaksa meminum obat yang diduga sebagai obat aborsi, sementara obat lainnya dimasukkan melalui vaginal, yang menyebabkan L-A mengalami pendarahan hebat dan rasa mulas.
“Obat aborsi diberikan oleh M-H, satu dimasukkan ke mulut korban dan satu lagi ke dalam vagina. Setelah itu, sekitar pukul 12 malam, korban mengalami pendarahan hebat dan rasa mulas,” tambahnya.
Bahkan, LA ditahan di klinik MH selama empat hari sebelum akhirnya dibawa pulang ke rumahnya di Kecamatan Saketi. Saat tiba di rumah, orang tua L-A merasa curiga karena L-A terus mengalami pendarahan. Mereka berencana membawanya ke klinik di Labuan, tetapi M-H melarang dan menyarankan untuk dibawa ke dokter lain di Panimbang.
L-A kemudian diperiksa oleh dokter berinisial D-N. Berdasarkan bukti komunikasi antara MH dan D-N, D-N diduga memberikan obat aborsi pada M-H. Dalam percakapan tersebut, MH bertanya mengapa L-A masih mengalami pendarahan, dan D-N menyarankan pemberian obat penahan nyeri.
Merasa tidak puas dengan perawatan tersebut, orang tua L-A akhirnya membawa putrinya ke RS Permata Bunda di Ciekek, Pandeglang, untuk dikuret.
“Orang tua korban meminta pertanggungjawaban dari M-H, tetapi dia menolak. M-H hanya datang sekali ke rumah sakit dan setelah itu tidak ada kabar lagi,” jelas Rama.
Sementara itu, KBO Satreskrim Polres Pandeglang, IPDA Beni Sukirman, membenarkan bahwa pihaknya telah menerima laporan terkait dugaan pemaksaan aborsi yang menimpa L-A.
“Benar, kami telah menerima laporan dari L-A terkait dugaan pemaksaan aborsi. Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) akan melakukan penyelidikan, tetapi kami masih dalam tahap penyidikan dan belum bisa memastikan apakah dugaan tersebut benar,” katanya.
Beni menjelaskan kepolisian sedang mendalami laporan ini dan akan segera memanggil saksi-saksi untuk dimintai keterangan.
“Untuk tindak lanjut, kami menunggu arahan dari pimpinan. Kami akan memanggil saksi-saksi terlebih dahulu untuk dimintai keterangan, setelah itu baru terlapor akan dipanggil. Gelar perkara akan dilakukan setelah pemeriksaan tersebut,” jelasnya.