Kejaksaan Negeri Pandeglang secara intens mengawasi penggunaan dana hibah sebesar Rp64.110.640.000 untuk Pilkada Kabupaten Pandeglang tahun 2024. Dana hibah Pilkada Kabupaten Pandeglang diberikan kepada penyelenggara Pemilu yaitu KPU Kabupaten Pandeglang sebesar Rp48.148.190.000 dan Bawaslu Kabupaten Pandeglang sebesar Rp15.962.740.000.
Kepala Kejaksaan Negeri (Kajari) Pandeglang Aco Rahmadi Jaya melalui Kasi Intel Kejaksaan Wildani Hapit mengatakan, perlakuan pengelolaan dana hibah sama halnya pengelolaan keuangan negara.
“Dana hibah APBD itu untuk Pilkada itu uang negara. Jadi perlakuan pengelolaan dan pertanggungjawaban hibah sama halnya dengan pertanggungjawaban keuangan negara,” katanya di Kantor Kejaksaan Negeri Pandeglang, Kamis, 31 Oktober 2024.
Jadi, Wildan menjelaskan, ketika menggunakan dana hibah maka melekat di situ tanggungjawab. Melekat di situ hak dan kewajiban, haknya bisa mengelola anggaran, tapi kan ada kewajiban, ada tanggungjawab juga.
“Seperti apa penggunaan itu harus sesuai dengan bukti dukungnya. Jadi tidak serta merta bebas mengunakan, jangan beranggapan hibah itu seperti di kasih tanpa ada pertanggungjawaban, dan itu yang kadang enggak paham,” katanya.
Padahal kalau menggunakan dana hibah itu harus ada laporan pertanggungjawabannya.
“Makanya rawan (disalahgunakan), dana hibah ini besar yang diberikan oleh pemerintah daerah ini, kalau enggak salah KPU itu Rp40 sekian miliar terus Bawaslu itu Rp15 miliar. Kan besar angggarannya, kalau ada penyelewengan, penyalahgunaan, tidak dikelola dengan baik, negara rugi,” katanya.
Wildan menegaskan, ongkos penyelenggaraan Pilkada ini besar menggunakan APBD Kabupaten Pandeglang.
“Jadi kita mendorong komitmen dari KPU, Bawaslu supaya hati-hati menggunakan itu. Juga APH, APIP (Aparat Pengawasan Intern Pemerintah) itu mengawasi, termasuk Kejaksaan, secara intens mengawasi,” katanya.
Lebih lanjut Wildan menambahkan, selain melakukan pengawasan kejaksaan juga melakukan pendampingan kepada KPU terkait penggunaan anggaran supaya tidak salah.
“Jangan sampai di kemudian hari atau setelah selesai Pilkada ini ada temuan, ada masalah itu contoh pilkada sebelum-sebelumnya itu banyak begitu,” katanya.
Baru tahun-tahun ini atau setahun ke belakang terungkap temuan itu dan ditindak. Kejaksaan sudah menangani seperti di Sumsel di tempat lain lah.
“Dan sudah banyak contoh kita menangani kasus Hibah Pilkada. Sementara ini Kejaksaan masih melakukan pendampingan karena KPU meminta pendampingan, kita ada MoU sama bidang Datun untuk bagaimana pengelolaan anggaran ini tidak salah, tidak keliru. jadi kita mengingatkan,” katanya.
Sementara, baru sebatas itu, belum sampai mengecek pertanggungjawabannya. Sebab masih proses berjalan.
“Kita juga mau update apakah sudah semua dana hibah diberikan, kan biasanya bertahap pemberian oleh pemerintah daerah. Makanya aturan-aturan terkait Pilkada, aturan terkait keuangan negara, pembendaharaan negara, juklak dan juknisnya agar dipedomani sama tim KPU dan Bawaslu lah terutama,” katanya.
Wildan mengakui, sejauh ini belum ada temuan karena masih proses penyelenggaraan. Biasanya kejaksaan menerima laporan itu setelah selesai.
“Mudah-mudahan, jangan sampai selesai ini banyak laporan, banyak masalah, kita harapkan tidak terjadi di Pandeglang. Setelah selesai Pilkada, Kejaksaan akan meminta laporan pertanggungjawaban penggunaan dana hibah, kita minta karena sebagai mitra kan anggaran Pilkada pemililu ini merupakan proyek strategis nasional,” katanya.
Jadi dari pusat ini mendampingi dari Kejaksaan Agung. Kemudian KPU tingkat provinsi oleh Kejati, dan tingkat kabupaten Kejari.
“Jadi kita optimalkan pencegahan preventif, jadi ketika ada masalah kita tegur, kita ingatkan. Kalau KPU sudah melengkapi bukti dukung itu bagus,” katanya.
Wildan mengingatkan, persepsi hibah yang penting ada catatan tapi tak ada data dukung. Persepsi itu tidak benar.
“Hibah ini harus ada data dukung bukan sekedar catatan. Ini harus ada rincian jelas, makanya Kejaksaan melototin itu dari pihak Kepolisian juga mengawasi,” katanya.
Pengawasan secara intens dilakukan juga oleh Kejaksaan karena penggunaan dana hibah Pilkada rawan disalahgunakan.
“Penyalahgunaan keuangan negara ini biasanya dari mark up anggaran, menerima gratifikasi dan suap penggunaan dana hibah. Misal KPU melaksanakan pihan ketiga supaya dapat ads gratifikasi di situ akhirnya mark up kegiatan karena plot-plot itu untuk gratifikasi,” katanya.
Lebih lanjut Wildan menegaskan, gratifikasi biasanya berisisan dengan mark up kegiatannya.
“Jangan sampai ini disalahgunakan atau ada pedoman tidak dilaksanakan. Itu unsur melawan hukumnya, pertama kerugian negara dan unsur melawan hukumnya tidak mentaati aturan,” katanya.